Sabtu, 30 Oktober 2010

Mereka yang Sukses "from Emperan to Empire"

Ada pepatah, "Kesuksesan lahir dari keberanian mengalahkan ketakutan". Mungkin idiom ini yang menjadi pecutan bagi Fachrur Rozi dan Fadli hingga berani memulai sebuah usaha yang berawal dari modal Rp 100.000 hasil "bantingan" bersama. Kini, Rozi dan Fadli sudah menangguk hasil dari perjuangannya dalam waktu dua tahun ini. Dari Rp 100.000, dalam satu tahun saja, omzetnya sudah mencapai Rp 1 miliar. Bahkan, saat ini dalam sebulan sedikitnya berhasil mencapai transaksi hingga Rp 600 juta. Usaha apa, sih, mereka?

Berawal dari modal Rp 100.000, Rozi dan Fadli memulai usaha membuat sandal-sandal yang imut dan lucu. Mereka menyebutnya "imucu". Bentuknya macam-macam, ada hewan dan buah-buahan. Awalnya mereka mencari agen dengan melakukan promosi di emperan. "Makanya, tagline yang menjadi semangat kami sekarang, from emperan to empire. Karena tadinya kami usaha di emperan, sekarang sudah jadi empire," kata Rozi, yang menangani bidang pemasaran, kepada Kompas.com saat ditemui di ajang Pekan Wirausaha di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (11/4/2010).

Kesuksesan mereka tak hadir begitu saja. Sebelum memulai bisnis sandal-sandal lucu, Rozi dan Fadli masing-masing pernah mencoba berbagai bidang usaha. Mulai dari usaha roti bakar hingga mi ayam. Saat itu mereka juga masih berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan. "Dari yang semula hanya berdua, sekarang kami sudah punya karyawan 50 orang dan punya tim kreatif sendiri. Ceritanya, saya dan Fadli lagi sama-sama jatuh, punya utang banyak karena bisnis yang kami coba gagal. Tapi, saat itu masih kerja. Penghasilan bulanan hanya buat nutup utang. Akhirnya, kami menemukan sebuah produk, uang Rp 100.000-lah dipakai untuk buat prototipe sandalnya," kisah Rozi.

Kemudian, lanjut Rozi, mereka mengambil celah berpromosi dalam sebuah pameran franchise di Surabaya, Jawa Timur. Lebih dari 500 brosur mereka bagikan di area parkir lokasi pameran. "Sampai kami kejar-kejaran sama anggota satpam karena yang ikut pameran aja bayarnya Rp 30 juta. Kami enggak bayar, kok, seenaknya promosi, mungkin dilihat seperti itu. Akhirnya, dari hasil promosi, kami mendapatkan 10 agen," katanya.

Setiap agen harus membeli paket seharga Rp 250.000. Uang sebesar Rp 2,5 juta dari 10 agen inilah yang digunakan Rozi dan Fadli untuk memproduksi sandal lucu. Dari situ, order yang mereka terima semakin tinggi. Dalam satu tahun pertama, usaha mereka praktis tanpa saingan sehingga bisa mencapai pemasukan Rp1 miliar dalam satu tahun pertama. "Tapi, dalam tiga bulan pertama kami enggak dapat apa-apa. Semua keuntungan diputar lagi jadi modal. Bulan keempat baru kami berpikir bahwa tenaga yang kami sisakan sepulang kantor untuk mbungkusin produk juga harus dihargai. Akhirnya, ya, kami ambil keuntungan dibagi Rp 600.000 per orang. Berikutnya berlipat ganda," ujar Rozi.

Setelah melihat perkembangan bisnis yang pesat, Rozi dan Fadli mengambil keputusan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan fokus menekuni usaha. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah memproduksi kaus-kaus lucu bagi anak-anak dan produk sandal jepit unik bagi remaja. Untuk sandal lucu, setiap agen bisa membeli 150 pasang sandal dengan modal Rp 2 juta. Sementara paket reseller, 15 pasang dengan modal Rp 250.000.

Kini, semua usaha itu juga dipasarkan secara online melalui beberapa situs web, di antaranya www.rajasendal.com dan www.myjapit.com. "Memulai bisnis itu jangan takut, tapi juga jangan ngawur. Sekali dua kali mungkin gagal, tetapi jangan berhenti. Biasanya mereka yang gagal berbisnis karena mereka berhenti untuk mencoba lagi. Memulai usaha itu tidak selalu dengan modal besar," kata Rozi.

Read More......

Jumat, 29 Oktober 2010

Karena Ingin Jadi Presiden Direktur

"Saya ingin mandiri dan menjadi presiden direktur," kenang Wuryanano saat memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai Manager Divisi di perusahaan nasional pada 1989. Kini, ia tak sekadar menjadi presiden direktur tapi sekaligus pemilik dari sederet perusahaan.

Saat mulai memutar roda bisnis di bidang peternakan, usahanya mengalir lancar dan tak ada aral yang berarti. Bisnis ayam petelur dan ayam potong digelutinya selaras dengan keahliannya. Perusahaan peternakan bernama PT Swastika Prima International itu baru mengadapi tantangan besar saat badai krismon menerpa Indonesia. "Saat itu saya terlalu ambisius dalam mengembangkan usaha saya," ungkap Wuryanano yang menjelaskan permintaan pasar belum mampu menyerap produksi ternaknya. Kerugian Rp 5 miliar pun ia ikhlaskan.

Tapi tak ada istilah patah arang bagi Wuryanano. Dengan menggandeng empat rekanan bisnis, ia membesarkan kembali peternakan miliknya. Justru dengan memiliki rekanan bisnis, ia tak harus kerap nongkrongi peternakan. Ia malah lebih leluasa mengembangkan bisnisnya yang lain.

Lahan peternakannya kini makin lapang dengan menempati tanah 50 hektar di kota Blitar. Kandang-kandangnya selalu riuh oleh suara kotek 350.000 ayam petelur dan 400.000 ayam potong. Peternakan itu juga menjadi sumber rezeki bagi 350 karyawannya yang mayoritas mengenyam bangku sekolah dibawah SMU.

Hasil peternakannya yang bejibun itu tak ada yang tersisa. Para agen sudah antri dengan permintaanya masing-masing. "Bahkan agen baru yang ingin membeli produksi ternak saya tolak karena permintaan membludak," jelas Wuryanano.

Bisnis Wuryanano tak sebatas telur dan daging ayam, tapi juga mengepakkan sayap bisnisnya di bidang merchandising, souvenir, supermarket, garmen, butik dan lembaga pendidikan. Serta yang paling bontot adalah bisnis kue camilan yang nantinya akan diproyeksikan menjadi pabrik kue camilan.

Keberhasilannya menjadi seorang entrepreneur kerap membuatnya prihatin akan kualitas lulusan sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia. "Keliru besar jika dunia pendidikan terlalu banyak materi sehingga menjadi tidak fokus pada ilmu apa yang dibutuhkan," paparnya. "Akibatnya, saat lulus kuliah, banyak yang nggak ngerti bagaimana cara bekerja".

Berbekal keinginan agar lebih banyak menelorkan entrepreneur dan profesional, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Profesi Swastika Prima Community College Surabaya. Lembaga pendidikan yang menerima mahasiswa sejak 2001 silam itu telah mewisuda lebih dari 1.000 orang. Ia tak ingin lembaga pendidikannya mencetak pengangguran seperti yang kerap dilihatnya.

"Saya tidak akan meluluskan mahasiswa yang belum menjadi entrepreneur atau yang sudah bekerja," jelas Wuryanano. Artinya, sebelum lulus, mereka telah mengantongi penghasilan. Baik menggawangi usaha sendiri atau setidaknya menjadi profesional di suatu perusahaan.

Keberhasilannya berbisnis mendapat perhatian pihak lain. Ia diganjar penghargaan ISMBEA (Indonesia Small & Medium Business Entrepreneur Award) 2008 sebagai entrepreneur yang berhasil menggerakkan sektor riil dengan inovatif. "Saya melihat penghargaan ini sebagai peringatan karena setelah sekian tahun berbisnis, saya tetap saja menyandang predikat sebagai pengusaha kecil," ujar Wuryanano sambil tertawa. Tapi ia mengakui, senang rasanya memperoleh penghargan itu.

Pengusaha yang saat senggang gemar mengajak istri dan kedua anaknya wisata alam ini, resep bisnisnya cukup unik. "Berusahalah untuk bisa memiliki pegawai sebanyak-banyaknya. Dan jangan lupa mengayomi kesejahteraan mereka," pesan Wuryanano. Kini total karyawannya lebih dari 500 orang dan terus bertambah. Tentu dengan bertambahnya karyawan, kapasitas bisnis akan lebih leluasa melebarkan sayap.

Read More......

Dari Karyawan Jadi Pengusaha

Bermula dari usaha jasa fotokopi, ketrampilan dan bakat lelaki kelahiran 21 Mei 1975 ini mulai terasah. Didorong oleh kebutuhan keluarganya yang terus meningkat, ia mencari peluang membuka usaha sendiri, dibantu seorang kenalannya di Kantor Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Tangerang, ia membuka usaha jasa fotokopi.

Berbekal tabungan senilai Rp 500 ribu ditambah dengan pinjaman dari beberapa temannya sebesar Rp 15 juta, terbeli mesin fotokopi dan berbagai kebutuhan lain, sementara untuk operasional sehari-hari, Arta Prima, begitu Yulianto menamai usahanya, masih mengandalkan pinjaman temannya.

Seiring perjalanan waktu, usaha Yulianto pun terus berkembang. Terlebih di kompleks Depdiknas, Arta Prima merupakan satu-satunya usaha fotokopi yang menangani hampir sebagian besar penggandaan surat ataupun dokumentasi lain di departemen itu. Hal ini menaikkan omset penjualannya sampai Rp 5-10 juta dalam sebulan. Kepercayaan yang sama dari Telkomsel dan Indosat juga untuk menggandakan materi pelatihan dan berbagai kebutuhan lain yang berhubungan dengan masalah percetakan pun dapat diraihnya.

Untuk mengatasi beban kerja, selain merekrut pegawai, di awal tahun 2003 itu ia mulai mengajukan kredit mikro ke BNI Cabang Palmerah, Jakarta sebesar Rp 50 juta, yang sedianya akan dipakai untuk membeli dua mesin fotokopi dan perlengkapan lain. Hanya dalam tempo tiga hari, modal usaha yang dibutuhkan disetujui, karena dinilai cukup layak (omset Yulianto cukup besar untuk ukuran pengusaha kecil, keberadaan Depdiknas sebagai pelanggan tetap, membuat resiko usahanya lebih kecil) untuk diberikan pinjaman, dengan masa pelunasan selama tiga tahun.

Sementara untuk memperluas pasar ia juga membuka cabang. Pada awal 2006 dengan total dana sebesar Rp 15 juta, ia membuka cabang di daerah Mampang, Jakarta Selatan, sekaligus menambahnya dengan penyewaan komputer. Ekspansi ini berhasil meningkatkan omzet dan kualitas layanannya, baginya pelayanan dan hasil terbaik, adalah kunci utama mempertahankan pelanggan.

Bantuan yang diberikan BNI, mendorong Yulianto untuk mengajukan kredit baru (walaupun omset penjualannya sudah menyentuh angka Rp 30 juta sebulan) guna membeli mesin lagi. Semuanya dilandasi kepercayaan bahwa ekspansi usaha adalah jalan terbaik untuk memperbesar bisnisnya.

Sumber : Tangan Di Atas

Read More......

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO