Minggu, 19 April 2009

Iwan Sunito, Menaklukkan Bisnis Properti Negeri Kanguru

Arek Suroboyo ini sudah menetap selama 20 tahun di Australia. Bersama dua mitranya, ia merentas sukses di bisnis properti. Bagaimana Iwan Sunito mencapainya?
Australia, tak hanya dikenal sebagai negara yang memiliki panorama indah. Peluang bisnis pun, ternyata terbuka lebar bagi siapa saja yang mau mencoba. Salah satunya yang berhasil mengembangkan bisnis di negeri ini adalah Iwan Sunito, pria asal Surabaya. Ceritanya, 20 tahun lalu, lelaki kelahiran Juli 1966 ini datang ke sana untuk menimba ilmu di Jurusan Arsitektur Universitas New South Wales, Australia. Kemudian, ia melanjutkan S-2-nya di kampus yang sama dengan mengambil spesialisasi Manajemen Konstruksi.

Setelah lulus pada 1992, ia pun mencoba peruntungan di Cox Richardson Architects, perusahaan yang menggarap proyek Olyimpic 2000 di Australia. Selama dua tahun di perusahaan ini, ia menyadari, jika terus bekerja di perusahaan orang, akan sulit mencapai target hidup seperti yang diharapkan.

Maka, pada 1994, keputusan penting dibuat; merintis usaha sendiri sesuai dengan keahlian. Segmen yang dibidik adalah rumah-rumah mewah. "Jiwa saya bukan mengerjakan rumah-rumah murah," kata peraih penghargaan The Best Residential Designer ketika menyelesaikan S-1-nya ini. Bukannya berkmasud jumawa, hanya saja, dijelaskan Iwan, proyek rumah murah di Australia sudah terlampau banyak dan persaingannya juga ketat.

Rumah pertama yang dirancang Iwan adalah rumah mewah di daerah Rose Bay. Nilai total proyek ini Aus$ 500 ribu. "Lumayanlah, baru pertama kali langsung dapat proyek besar," katanya sembari tersenyum. Setelah itu, bisnisnya berkembang baik. Proyek perkantoran dan unit perumahan mulai digarap. Sebenarnya, "Bisnis ini bisa berkembang lebih besar dengan jumlah arsitek sekitar 100-200 orang," ujarnya optimistis. Namun, ia merasa, bisnis arsitek cuma bagus untuk sekadar memiliki cash flow.

Iwan pun memutar otak, mencari peluang yang memungkinkannya melakukan gebrakan. Setelah melihat-lihat, bisnis property development pun dilirik. Di bisnis ini, ia mempunyai bekal karena tesis yang dikerjakannya juga tentang hal yang sama. "Jadi, arahnya saya belokkan ke property development," katanya.

Kendati memiliki pengetahuan dan pengalaman membangun rumah, bukan berarti sukses langsung digenggam. Awalnya, proyek perumahan kecil berisi 5-6 unit rumah yang diincar. Akan tetapi, ketika sudah menemukan lokasi yang cocok, Iwan tak jadi membelinya. Alasannya, "Harganya terlalu mahal. Saya tidak berani membeli."

Tahun 1996, ia menemukan tanah yang cocok untuk membangun 55 unit rumah di daerah Bondi Junction dengan harga Aus$ 28 juta. "Ini nilai proyek pertama saya," ujar Iwan. Karena nilai investasinya besar, ia pun mengajak dua teman baiknya mengerjakan proyek ini bersama-sama. "Sejak itu, kami merasa cocok. Kemudian, saya memutuskan merger dengan mereka yang memang sejak awal sudah bergerak di bidang property investment & development," lanjutnya. Karena itu, pada tahun yang sama dibentuklah Crown International Group, yang merupakan hasil merger beberapa perusahaan.

Iwan berkisah, bukan perjuangan mudah menjadi pengusaha di negeri orang. Ia merasa harus banyak belajar. Untungnya, sistem pemerintahan Australia memudahkannya membangun bisnis. "Di Australia, proses izin sangat transparan. Kalau toh tidak diizinkan, di sana ada pengadilan sistem yang bisa memutuskan. Jadi, tidak ada sistem yang dimanipulasi," paparnya.

Ini berbeda dengan di Indonesia, yang ia dengar sering dijumpai hal-hal ganjil. Sekadar mengambil contoh, soal sertifikat ganda, di Indonesia sudah umum terjadi. Sementara di Australia, itu merupakan tindak kejahatan yang bisa diajukan secara hukum.

Diakui Iwan, potensi pasar di Indonesia untuk bisnis properti masih sangat besar. Namun, sejauh ini, soal transparansi masih sering dipertanyakan. "Ketika teman-teman di Australia mengundang Robby Djohan atau Emil Salim untuk diskusi, selalu saja pertanyaannya menyangkut legal transparancy. Mereka butuh jaminan. Ada beberapa hal di Indonesia yang membuat kami tidak nyaman berbisnis, " Iwan mengungkapkan.

Dalam pandangan Iwan, orang yang sudah terbiasa dalam iklim bisnis seperti di Australia, akan mendapat hambatan besar jika masuk ke pasar di Indonesia. "Tidak sebanding antara keuntungan dan risikonya," ujarnya berseloroh. Sejauh ini, ia belum terpanggil untuk berbisnis di negeri sendiri. "Saya harus berpikir banyak. Paling tidak, saya harus mengerti sistem di Indonesia," tuturnya serius. Terlebih, banyak hal yang membuatnya bingung. Umpamanya, dalam hal jual-beli tanah. Di Australia, disebutkan Iwan, proses pembelian tanah hanya membutuhkan waktu tiga hari. Sementara di Indonesia, ia menduga, mungkin bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan.

Kendati demikian, bukan lantaran itu ia takut memulai bisnis di Indonesia. Alasan yang sebenarnya, "Saya sudah lama di Australia dan tahu benar peta geografi negeri ini, serta peluang yang ada di sana."

Sekarang, Iwan masih fokus menggarap proyek di Sydney yang populasinya hanya sekitar 20 juta orang. "Buying power penduduk Sydney besar. Tinggal bagaimana kita menggarapnya," Iwan menandaskan. Selama tinggal di Australia, ia mengamati, investasi properti di Sydney jauh lebih bagus daripada dalam mata uang asing. Sekadar contoh, pada 1985 harga rumah di Sydney sekitar Rp 96 juta. Sekarang, bisa mencapai Rp 4,8 miliar. Bayangkan, berapa keuntungannya?

Ke depan, Sydney diyakini Iwan masih sangat prospektif. Di daerah ini, banyak orang yang sukses dalam hidupnya dan mempunyai daya beli yang tinggi. Bahasa apa pun ada di wilayah ini. Bahkan, "Sekarang mulai bertebaran perusahaan multinasional yang mendirikan headquarter di daerah ini," katanya. Agaknya, Sydney menjadi pilihan karena tempatnya indah dan top executive-nya lebih senang tinggal di daerah ini. "Banyak orang yang rebutan ingin masuk ke sini," ungkapnya.

Selain Sydney, daerah lain yang pertumbuhan bisnis propertinya bagus, menurut Iwan, adalah Melbourne dan Queensland. "Kalau di Sydney dan Melbourne sudah sejak dulu. Kini Queensland juga banyak diincar karena lokasinya dekat pantai. Harga rumah di Queensland juga masih murah," papar Iwan seraya menjabarkan, beberapa tahun lalu, 70% penduduk Australia lebih senang tinggal di daerah rural. Namun saat ini, mulai terjadi pergeseran. "Kalangan muda menilai, untuk memulai hidup di Sydney terlalu mahal," ujar Iwan.

Kendati begitu, Sydney tetap dipilih untuk proyek propertinya. Diakui Iwan, di kota itu, sebetulnya agak susah mencari tanah. Namun, tak ada kata gentar yang hinggap. "Kalau mendapat tanah yang harganya cocok, akan baik untuk bisnis," katanya. Lagi pula, "Saya sudah lama tinggal di sini sehingga tahu pasarnya," ia menukas. Sejauh ini, ia mengaku belum ada rencana mengembangkan bisnisnya di dua daerah potensial yang lain.

Iwan mengungkapkan, ada dua hal yang membuatnya bisa bertahan di negeri orang dan meraih sukses. Pertama, mengerti sistem yang berlaku dan berhubungan baik dengan orang-orang yang berada di dalam sistem itu. Kedua, harus tahu positioning produk sendiri dan menciptakan keunikan. Misalnya, ia mengamati, di Sydney banyak orang tua yang sudah mencapai usia pensiun ingin pindah dari rumah mereka yang besar (senilai Aus$ 1-2 juta) ke yang ukurannya lebih kecil. Di pasar, rumah yang ditawarkan ukurannya terlalu kecil. Untuk menjawab kebutuhan itu, ia pun mengembangkan rumah mewah di lokasi yang transportasinya bagus dan ada fasilitas convenience store-nya. Ukurannya, diklopkan dengan permintaan pasar.

Hal yang sama juga terjadi ketika mengerjakan proyek di Bondi. Di tempat ini, yang digarap adalah perumahan eksklusif. "Kami tahu daerah ini dikelilingi orang yang tinggal di rumah senilai Aus$ 4 juta," kata Iwan. Maka, dibangunlah proyek yang unik dan berbeda. Biasanya, orang membuat satu unit rumah dengan dua kamar tidur luasnya 80 m2. Namun, ia membuatnya menjadi 95 m2. Atau, yang biasanya tiga kamar tidur seluas 95 m2, diperluas menjadi 135 m2. "Tidak ada kompetitornya. Positioning kami adalah terhadap market tertentu, daerah tertentu dan menjangkau kebutuhan di daerah tersebut," tutur Iwan, yang dengan strategi itu pula merasa lebih mudah memasarkan produknya.

Di samping itu, budaya setempat juga diperhatikan Iwan. "Saya tahu kalau orang Asia senang tinggal di kota yang ramai, dan ada shopping center-nya. Sementara orang bule profesional, lebih suka di daerah yang trendi. Dan orang yang sudah tua, tidak akan pindah ke daerah lain yang belum pernah dia tinggali," Iwan menuturkan. Budaya-budaya ini yang dulunya tidak ia mengerti. Ia sempat heran melihat orang yang berani membayar mahal, padahal daerahnya bukan di daerah strategis. Ternyata, alasannya sederhana saja. "Mereka sudah lama tinggal di situ dan anak mereka juga tumbuh di lingkungan itu."

Dilihat dari skala bisnisnya, Crown termasuk perusahaan kelas menengah. "Nilai proyek kami sekitar Aus$ 80-200 juta per proyek," ungkap Iwan. Di kelas ini, pemainnya relatif banyak, yakni 20-30 pemain. Sementara di kelas atas, hanya ada 5-6 pemain dan biasanya perusahaan publik. "Sydney itu besar sekali. Kami tidak bisa meng-handle sendirian," paparnya. Jika tender proyek berlangsung, biasanya yang berkompetisi hanya 3-4 perusahaan. Ia sendiri sering memperoleh proyek tanpa melalui tender. "Kebanyakan private deal," ia menambahkan. Sebagai contoh, bila Iwan melirik sebidang tanah, ia akan menghitung dengan kacamata bisnis, lalu mengajukan penawaran langsung ke pemiliknya.

Di proyek yang diberi nama Genesis -- proyek apartemen dan ritel berkualitas tinggi di daerah Epping -- Iwan tidak sendirian, melainkan join ventura dengan pengembang properti lain, Lyon Group. Nilai proyeknya Aus$ 80 juta. Saat ini, proses konstruksi Genesis telah dimulai. Proyek ini akan selesai pada 2006, bersamaan dengan rencana Pemerintah New South Wales menyelesaikan railway line dari Chatswood ke Epping. Pada saat peresmian nanti, PM Australia, John Howard berkenan hadir untuk meresmikan proyek tersebut.

Di atas lahan seluas 4000 m2 itu, akan dibangun 98 apartemen beragam tipe -- tipe studio, apartemen dua kamar dan tiga kamar. Untuk tipe studio, harganya berkisar Aus$ 340-545 ribu untuk dua kamar tidur, dan Aus$ 650 ribu untuk tiga kamar tidur. Sementara itu, untuk jenis sub-penthouse harganya Aus$ 995 ribu dan luxury penthouse ditawarkan mulai dari Aus$ 1,135 juta.

Selama tinggal di Sydney, Iwan mengaku banyak belajar tentang pola pikir bangsa lain. Berdasarkan pengamatannya, yang membuat orang Indonesia tak berhasil membangun bisnis di Australia bukan karena tak mampu. Melainkan, kesalahan dalam membaca pola pikir masyarakat di sana. "Mereka berharap kesuksesannya di Jakarta bisa langsung dibawa ke Australia," ujarnya berargumen. Padahal, tidak semudah itu menerapkannya. "Untuk masuk ke sini, orang Indonesia harus bisa menghapuskan halangan-halangan terlebih dulu," katanya. Apa yang dimaksud dengan halangan-halangan?

"Bahasa dan budaya," jawab Iwan. "Halangan bahasa adalah penyebab utama masuk ke networking mainstream," katanya. Bila networking-nya terbatas, informasinya pun jadi terbatas. Di samping itu, halangan bahasa juga harus bisa dihilangkan. "Dan, jangan terburu-buru. Kita harus tahu benar budaya di sini," tambahnya.

Ia mengambil contoh temannya, seorang pengusaha asal Indonesia yang ingin mengembangkan perumahan di Melbourne. Total nilai proyeknya sekitar Aus$ 120 juta. Lokasinya dekat kasino, sedangkan di seberangnya tempat para pelajar. Ketika melihat rancangannya yang mahal, ia sudah menebak bahwa itu tidak akan berhasil. Kalau di Sydney, perumahan di dekat kasino akan laku keras. "Tapi tidak di Melbourne," ia menandaskan. "Ia tidak sadar bahwa orang lokal tidak mau dan tidak suka tinggal di tempat seperti itu," tambahnya.

Jelas, tak mudah mengembangkan bisnis di negeri orang. Selain harus memahami budaya setempat, bahasanya pun harus dikuasai dengan baik dan benar. Dan yang tak kalah penting, tentu saja, harus kenal banyak orang. Sebab, dengan jaringan yang ada di mana-mana itulah, Iwan Sunito bisa meraih impiannya di Australia. Itulah kiat si arek Suroboyo ini merentas suksesnya di Negeri Kanguru. Ada yang punya nyali menyusul jejaknya?

sumber : www.swa.co.id

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO