Subhash Chandra merupakan salah satu konglomerat India. Dia adalah pendiri salah satu perusahaan kemasan terbesar di dunia, Essel Propack Limited. Chandra yang tak lulus dari bangku sekolah menengah atas itu juga terkenal sebagai Raja Media India karena merupakan pendiri sekaligus pemilik jaringan televisi satelit Zee TV. Majalah Forbes edisi Maret 2009 menempatkan Chandra di urutan 647 orang terkaya dunia dengan kekayaan mencapai 1,1 miliar dollar AS.
Di industri pertelevisian India, nama Subhash Chandra terbilang kondang. Maklum, ia adalah pendiri sekaligus pemilik stasiun televisi satelit swasta pertama India, Zee TV. Zee TV kini merupakan saluran televisi berlangganan terbesar dan paling populer di India, mengalahkan Sony Entertainment Television dan Star Plus.
Saluran Zee TV yang juga memiliki beberapa stasiun televisi lokal dalam beberapa bahasa daerah yang sampai saat ini memiliki 32 juta pelanggan di India. Bahkan, channel Zee TV juga merambah ke negara lain, seperti di Amerika Serikat (AS), Timur Tengah, Eropa, Afrika, Australia, dap Selandia Baru.
Chandra membangun kerajaan media miliknya tidak dalam sekejap. Ia mulai merintis bisnis televisi satelit dan mendirikan Zee TV sejak tahun 1992. Keputusannya terjun ke bisnis televisi kabel rupanya tak salah. Lewat Zee TV inilah bisnis media Chandra terus mengembang.
Penciuman bisnis Chandra yang tajam ini sudah terasah sedari muda. Chandra lahir di Hissar, kota kecil di sebelah utara India, pada 30 November 1950. Dia terlahir dari keluarga pedagang beras ternama di India. Sejak muda, dia memang sudah menaruh minat besar pada dunia bisnis. Bahkan, ia harus terdepak alias drop out dari bangku kelas 12 atau setara kelas 3 sekolah menengah atas (SMA) gara-gara lebih memilih mencari duit ketimbang menghabiskan waktu di bangku sekolah.
Chandra yang saat itu baru berusia 19 tahun, akhimya berketetapan sebagai pebisnis tulen di perdagangan beras. Naluri bisnis Chandra besar-benar terasah sewaktu mengurusi bisnis beras milik keluarganya itu. Dia berhasil mengembangkan bisnis beras tersebut sehingga bisa masuk ke dalam salah satu eksportir beras ternama di India.
Toh, ia tidak puas hanya berdagang beras. Chandra mulai mencoba-coba bisnis lain yang berpeluang mendatangkan untung lebih besar. la pun menjajal peruntungan bisnis minyak sayur. Chandra lantas membangun pabrik minyak sayur. Hanya dalam waktu singkat, minyak sayur buatan pabrik Chandra telah menguasai pasar. Dua tahun berdiri, omzet penjualan pabrik minyak sayur itu mencapai 2,5 juta dollar AS per tahun.
Perlahan bisnis Chandra mulai mengembang. Pada 1981, ia menerjuni bisnis kemasan. Chandra memperoleh ide bisnis kemasan itu setelah mendatangi pameran usaha pengemasan. Tanpa pikir panjang Chandra mendirikan Essel Packaging Limited. Chandra merupakan salah satu pionir bisnis pengepakan barang di India.
Essel Packaging makin menggurita setelah melakukan penggabungan usaha alias merger dengan perusahaan pengepakan asal Swiss bernama Propack AG. Pascamerger tersebut, perusahaan Chandra berganti nama menjadi Essel Propack Limited. Saat ini Essel Propack Limited merupakan salah satu perusahaan pengepakan terbesar di dunia.
Lewat Essel, bisnis Chandra mulai beranak pinak. Tahun 1988, Chandra membuat taman bermain dan taman rekreasi (theme park) terbesar di Asia bernama EsselWorld. Dunia fantasi dengan beragam wahana permainan tersebut berdiri di Mumbai dan menempati lahan seluas 64 hektar. Hebatnya lagi, EsselWorld merupakan taman bermain pertama di Asia yang menerapkan prinsip ramah lingkungan dan memenuhi standar internasional.
Agar pengunjung membanjiri taman hiburan itu, pada 1998 Chandra menambahkan wahana wisata air Water Kingdom di EsselWorld. Untuk mendesain Water Kingdom tersebut, Chandra memakai jasa arsitek asal Perancis, Jean Michel Rouls.
Membangun kerajaan televisi pertama di India
Meski tersohor sebagai tempat hiburan keluarga terbesar di Asia, EsselWorld ternyata tak terlalu banyak memberi keuntungan buat Subhash Chandra. Padahal, jumlah pengunjung EsselWorld rata-rata mencapai 10.000 orang per hari. Chandra memang kurang puas dengan kinerja EsselWorld. Namun, baginya EsselWorld menjadi pelajaran penting tentang bagaimana mengelola bisnis hiburan keluarga.
Pria ini kemudian melirik bisnis baru untuk menopang pertumbuhan bisnisnya. Kali ini penciuman Chandra mengendus bisnis televisi satelit. Chandra melihat ceruk bisnis ini masih sangat besar di India, apalagi waktu itu belum ada pengelola televisi satelit di India. Maka pada tahun 1992, Chandra meluncurkan saluran televisi berbahasa Hindi pertama, bernama Zee Television (Zee TV). Pengoperasian Zee TV ini mengejutkan masyarakat India karena waktu itu hanya bisa menikmati tayangan televisi terbatas dari saluran televisi milik pemerintah.
Saluran televisi satelit India pertama itu mulai tayang pada tanggal 2 Oktober 1992. Chandra menyewa transponder satelit AsiaSat milik Star TV, sebelum konglomerat media Rupert Murdoch mengambil alih Star TV.
Setahun kemudian, Chandra mendirikan perusahaan perfilman atau rumah produksi bernama Zee Telefilms Limited. Rumah produksi ini yang mengisi dan menyajikan konten siaran Zee TV. Ini merupakan bisnis terintegrasi Zee TV sehingga mereka tak perlu mengeluarkan ongkos besar untuk membeli program televisi.
Pada tahun 1995, Chandra memulai kerja sama dengan News Corp, raksasa media milik Murdoch. News Corp inilah yang memasok program Zee News untuk siaran berita, dan Zee Cinema yang menayangkan berbagai program film. Awalnya hubungan Chandra dengan Murdoch berlangsung mesra. Berkat kongsi dengan Star TV dan News Corp, jaringan Zee TV cepat membesar dan populer. Hanya dalam tempo kurang dari tujuh tahun, Zee TV menjadi jaringan televisi kabel paling populer di India. Bahkan, Zee TV kemudian menjadi salah satu jaringan televisi kabel top dunia yang memiliki jaringan di 120 negara dengan lebih dari 200 juta penonton.
Kerja sama Chandra dan Murdoch hanya bertahan lima tahun. Itu terjadi setelah perusahaan media Murdoch, News Corporation, mengambil alih Star TV. Pasca-akuisisi tersebut, Murdoch dan Chandra bersepakat mengakhiri kerja sama bisnis. Banyak analis yang menilai putusnya hubungan kerja sama itu menguntungkan kedua belah pihak. Satu sisi, Murdoch terlepas dari kontrak yang melarang Star TV membuat program yang serupa dengan program yang dimiliki Zee TV. Di sisi lain, Chandra semakin berpeluang untuk membesarkan Zee TV dengan tangan sendiri. Gara-gara pemutusan kerja sama itu Zee TV harus membayar kompensasi kepada Star TV senilai 150 juta dollar AS.
Namun, ada spekulasi lain yang muncul di balik pecahnya kongsi Zee TV dengan Star TV. Konon, hubungan kerja sama itu berakhir lantaran Murdoch terlalu mendikte Chandra bagaimana harus menjalankan bisnisnya.
Toh, Zee TV tidak limbung meski berpisah dengan Star TV. Malah, Chandra semakin tertantang untuk mengembangkan Zee TV. Chandra pun terus membuat gebrakan. Pada tahun 2000, Zee TV menjadi perusahaan televisi kabel pertama di India yang meluncurkan layanan internet melalui jaringan TV kabel.
Tak cuma itu, pada tahun 2003, Zee TV menjadi service provider pertama di India yang menyediakan layanan direct to home (DTH). Dalam waktu singkat Zee TV telah menjadi media besar dan kemudian malah menjadi kompetitor kuat Star TV. (Abdul Wahid Fauzie/Kontan)
Read More......
Senin, 14 September 2009
Putu, dari Laptop Pinjaman Sekarang Omzet Miliaran
Berawal dari sebuah ruangan dan laptop pinjaman seorang teman, Putu Sudiarta membangun penyebaran teknologi dengan cara unik ke seluruh Indonesia hingga mancanegara. Bahkan, PT Bamboomedia Cipta Persada di Jalan Merdeka, Denpasar, Bali, sebagai aktualisasi karyanya itu pun tak pernah sepi dari kunjungan mahasiswa sampai rekan bisnis kecil dan besar. Lalu, keunikan apa yang membuatnya beromzet miliaran rupiah sejak berdiri tahun 2002 lalu?
Putu Sudiarta yang berperawakan tinggi, kurus, dan berpenampilan sederhana ini pun langsung menunjuk ke sebuah lemari kaca di salah satu sudut ruangan rapat di kantornya. ”Ini adalah lemari sejarah perjalanan Bamboomedia,” katanya sambil tersenyum.
Di dalam lemari itu tersimpan beberapa disket, telepon rumah, brosur-brosur, CD, kabel internet, beberapa buku, serta sebuah hair dryer. Barang-barang tersebut yang mengawalnya menjadi dikenal di dunia teknologi informasi. Ia sendiri pun tak menyangka bisa sebesar sekarang dan banyak pebisnis dan puluhan mahasiswa teknik informatika dengan beberapa bus dari luar Bali mengunjunginya karena penasaran dengan siapa di balik Bamboomedia.
Bamboomedia Cipta Persada dikenal sebagai penghasil perangkat lunak (software) aplikasi komputer untuk perkantoran, pelajar, karyawan, perusahaan besar ataupun kecil, sampai ke anak-anak. Intinya, perusahaan ini hanya mementingkan pendidikan dan bagaimana aplikasi ini bisa menyebar secara benar, baik, mudah, dan murah tanpa batas.
Bayangkan, Putu Sudiarta hanya menjual CD aplikasinya itu mulai harga Rp 25.000 per keping dan kurang dari Rp 50.000 per keping. Tidak berhenti di situ, aplikasinya juga boleh diakses oleh siapa pun dari CD, hanya dengan mendaftar atau membayar sejumlah uang sesuai harga CD tanpa harus datang ke kantornya.
”Kami ingin siapa pun bisa mudah untuk belajar meski jaraknya jauh dari sini. Buktinya, kami memiliki pelanggan di daerah Papua yang hanya dengan mengirimkan pesan singkat untuk mendapatkan nomor registrasi dan transfer uang. Satu CD bisa dipakai berulang kali,” jelasnya.
Sebelum memutuskan pulang ke pulau kelahirannya, Bali, Putu Sudiarta menyelesaikan S-1 di Jurusan Informatika Stikom Surabaya, Jawa Timur, dan pernah bekerja di kota itu. Ia yang lahir dan besar dari keluarga cukup mampu ini mulai merasa iba ketika suatu saat menemui lingkungannya yang serba kekurangan, termasuk sulitnya siswa mengakses teknologi.
Dari pengalaman itu, Putu Sudiarta bertekad mencari cara bagaimana ilmu yang selama ini dia geluti juga bisa dinikmati oleh mereka yang minim bangku pendidikan.
Menurut dia, dunia akan terus berkembang. Namun, apa artinya jika ada bagian dari negara ini masih serba kekurangan hanya karena tak memiliki kemampuan menjangkau dan dijangkau dari perkotaan.
Ia pun bertekad pulang ke Bali. Selanjutnya bersama seorang adik dan seorang temannya, Putu Sudiarta menggalang kekuatan menembus pasar dengan menjual beberapa aplikasi yang sudah disusun secara mudah untuk dicerna dan diikuti tanpa merasa digurui.
Bermodalkan persis sama seperti di ”lemari sejarah”-nya, Putu Sudiarta yang gemar masakan Padang ini terus menggali potensi. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menyabet beberapa penghargaan edukasi untuk produk-produknya.
Koleksi produknya pun sudah sekitar 108 produk. Omzetnya pun bisa jutaan rupiah dan pernah mencatat sampai Rp 1,6 miliar. Tapi menurut dia, lagi-lagi ini merupakan bagian dari perjalanan. Baginya, kegigihan menjadi salah satu motivasinya agar air itu pun terus mengalir.
Saat awal membangun Bamboomedia dia hanya berbekal laptop pinjaman untuk menembus pasar melalui Gramedia pada tahun 2003. ”Wah, kala itu bergaya sekali memamerkan aplikasi produk kami kepada pihak Gramedia di salah satu tokonya di Denpasar ini. Padahal, laptopnya pinjaman. Siapa yang tahu, kan?” ujarnya sambil sedikit berkelakar.
Menembus Microsoft
Mimpinya menembus pasar melalui Gramedia pun terkabul. Lalu bagaimana dia bisa pula menggaet Microsoft, perusahaan teknologi informasi besar itu?
Menurut Putu Sudiarta, itu lagi-lagi merupakan sebuah keberuntungan yang tak terkira. Dengan ilmu coba-coba, ia menelepon kantor Microsoft. Singkatnya, setelah diminta menghubungi ini dan itu, dia berangkat ke Jakarta dan lagi-lagi harus memperagakan produknya.
Ia berhasil. Microsoft bersedia menggaetnya sebagai salah satu vendor bisnis. Uniknya, banyak perusahaan bisnis besar yang telah ditembusnya selalu tak percaya dengan keberadaan kantor Bamboomedia yang hanya sebuah rumah sebelum menempati kantor besarnya di kawasan mewah Renon, Denpasar, sekarang ini.
Distribusinya pun terus berkembang hingga ke seluruh pelosok Tanah Air. Termasuk sedikitnya 30.000 perusahaan kecil dan menengah yang sudah menggunakan produknya. Ini juga berawal dari kepedulian dan keprihatinannya terhadap pembajakan.
Bayangkan, jelasnya, para perusahaan kecil dan menengah ini bisa menjadi sasaran empuk dari mereka yang tidak punya hati dengan pembajakan atau permainan harga.
”Kasihan kan, perusahaan kecil dan menengah ini tak bisa maju hanya karena alasan membeli aplikasi untuk usahanya saja mahal sekali. Bisa sampai jutaan rupiah. Kami tidak menginginkan itu. Kami melayani dan memberikan aplikasi yang mudah dan murah agar bisa maju bersama. Bisa menghemat karena cuma dengan puluhan atau kurang dari satu juta rupiah, usaha tetap berjalan dengan aplikasi modern,” katanya. (AYU SULISTYOWATI)
Sumber : Kompas
Read More......
Putu Sudiarta yang berperawakan tinggi, kurus, dan berpenampilan sederhana ini pun langsung menunjuk ke sebuah lemari kaca di salah satu sudut ruangan rapat di kantornya. ”Ini adalah lemari sejarah perjalanan Bamboomedia,” katanya sambil tersenyum.
Di dalam lemari itu tersimpan beberapa disket, telepon rumah, brosur-brosur, CD, kabel internet, beberapa buku, serta sebuah hair dryer. Barang-barang tersebut yang mengawalnya menjadi dikenal di dunia teknologi informasi. Ia sendiri pun tak menyangka bisa sebesar sekarang dan banyak pebisnis dan puluhan mahasiswa teknik informatika dengan beberapa bus dari luar Bali mengunjunginya karena penasaran dengan siapa di balik Bamboomedia.
Bamboomedia Cipta Persada dikenal sebagai penghasil perangkat lunak (software) aplikasi komputer untuk perkantoran, pelajar, karyawan, perusahaan besar ataupun kecil, sampai ke anak-anak. Intinya, perusahaan ini hanya mementingkan pendidikan dan bagaimana aplikasi ini bisa menyebar secara benar, baik, mudah, dan murah tanpa batas.
Bayangkan, Putu Sudiarta hanya menjual CD aplikasinya itu mulai harga Rp 25.000 per keping dan kurang dari Rp 50.000 per keping. Tidak berhenti di situ, aplikasinya juga boleh diakses oleh siapa pun dari CD, hanya dengan mendaftar atau membayar sejumlah uang sesuai harga CD tanpa harus datang ke kantornya.
”Kami ingin siapa pun bisa mudah untuk belajar meski jaraknya jauh dari sini. Buktinya, kami memiliki pelanggan di daerah Papua yang hanya dengan mengirimkan pesan singkat untuk mendapatkan nomor registrasi dan transfer uang. Satu CD bisa dipakai berulang kali,” jelasnya.
Sebelum memutuskan pulang ke pulau kelahirannya, Bali, Putu Sudiarta menyelesaikan S-1 di Jurusan Informatika Stikom Surabaya, Jawa Timur, dan pernah bekerja di kota itu. Ia yang lahir dan besar dari keluarga cukup mampu ini mulai merasa iba ketika suatu saat menemui lingkungannya yang serba kekurangan, termasuk sulitnya siswa mengakses teknologi.
Dari pengalaman itu, Putu Sudiarta bertekad mencari cara bagaimana ilmu yang selama ini dia geluti juga bisa dinikmati oleh mereka yang minim bangku pendidikan.
Menurut dia, dunia akan terus berkembang. Namun, apa artinya jika ada bagian dari negara ini masih serba kekurangan hanya karena tak memiliki kemampuan menjangkau dan dijangkau dari perkotaan.
Ia pun bertekad pulang ke Bali. Selanjutnya bersama seorang adik dan seorang temannya, Putu Sudiarta menggalang kekuatan menembus pasar dengan menjual beberapa aplikasi yang sudah disusun secara mudah untuk dicerna dan diikuti tanpa merasa digurui.
Bermodalkan persis sama seperti di ”lemari sejarah”-nya, Putu Sudiarta yang gemar masakan Padang ini terus menggali potensi. Sejak tahun 2002 hingga sekarang, ia sudah menyabet beberapa penghargaan edukasi untuk produk-produknya.
Koleksi produknya pun sudah sekitar 108 produk. Omzetnya pun bisa jutaan rupiah dan pernah mencatat sampai Rp 1,6 miliar. Tapi menurut dia, lagi-lagi ini merupakan bagian dari perjalanan. Baginya, kegigihan menjadi salah satu motivasinya agar air itu pun terus mengalir.
Saat awal membangun Bamboomedia dia hanya berbekal laptop pinjaman untuk menembus pasar melalui Gramedia pada tahun 2003. ”Wah, kala itu bergaya sekali memamerkan aplikasi produk kami kepada pihak Gramedia di salah satu tokonya di Denpasar ini. Padahal, laptopnya pinjaman. Siapa yang tahu, kan?” ujarnya sambil sedikit berkelakar.
Menembus Microsoft
Mimpinya menembus pasar melalui Gramedia pun terkabul. Lalu bagaimana dia bisa pula menggaet Microsoft, perusahaan teknologi informasi besar itu?
Menurut Putu Sudiarta, itu lagi-lagi merupakan sebuah keberuntungan yang tak terkira. Dengan ilmu coba-coba, ia menelepon kantor Microsoft. Singkatnya, setelah diminta menghubungi ini dan itu, dia berangkat ke Jakarta dan lagi-lagi harus memperagakan produknya.
Ia berhasil. Microsoft bersedia menggaetnya sebagai salah satu vendor bisnis. Uniknya, banyak perusahaan bisnis besar yang telah ditembusnya selalu tak percaya dengan keberadaan kantor Bamboomedia yang hanya sebuah rumah sebelum menempati kantor besarnya di kawasan mewah Renon, Denpasar, sekarang ini.
Distribusinya pun terus berkembang hingga ke seluruh pelosok Tanah Air. Termasuk sedikitnya 30.000 perusahaan kecil dan menengah yang sudah menggunakan produknya. Ini juga berawal dari kepedulian dan keprihatinannya terhadap pembajakan.
Bayangkan, jelasnya, para perusahaan kecil dan menengah ini bisa menjadi sasaran empuk dari mereka yang tidak punya hati dengan pembajakan atau permainan harga.
”Kasihan kan, perusahaan kecil dan menengah ini tak bisa maju hanya karena alasan membeli aplikasi untuk usahanya saja mahal sekali. Bisa sampai jutaan rupiah. Kami tidak menginginkan itu. Kami melayani dan memberikan aplikasi yang mudah dan murah agar bisa maju bersama. Bisa menghemat karena cuma dengan puluhan atau kurang dari satu juta rupiah, usaha tetap berjalan dengan aplikasi modern,” katanya. (AYU SULISTYOWATI)
Sumber : Kompas
Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)